Sabtu, 06 September 2008

Memahami Hidup Dalam Absurditas

oleh: Fatkhurrokhman



“mengapa aku tidak dapat terbang seperti burung, mengapa aku tidak bisa berjalan diatas air?.”

Itulah pertanyaan sederhana sang pengembara yang diungkapkan oleh Eaton (2006). Seorang “pencari Tuhan” yang akrab dengan budaya Prancis. Pertanyaan ini adalah gambaran sederhana yang bisa dilakukan seorang manusia dalam memahami rahasia kehidupan. Yaitu segala hal yang tidak mudah untuk dipahami oleh rasio manusia dan hanya dengan gambar dan bahasa, keduanya, sama-sama memberikan keterbatasan pada keadaan manusia. Dengan keadaan itulah, terkadang manusia selalu menganggap bahwa kehidupan itu unreasonable, tidak masuk akal. Penuh dengan aturan dan tatanan yang seolah menjadi panduan (system) hidup manusia dalam menjalani dan memahami realita.

Muhammad Sobary dalam banyak tulisannya selalu menyuarakan tentang hidup, dan kehidupan. Sebagai budayawan, tentu saja suara itu dialunkan lewat cerpen dan essai budayanya. Dan dengan alunan karya cerpen atau esainya, kang Sobary berusaha mengingatkan kita, sebagai manusia, untuk memahami diri, bahwasannya sebagai manusia, sepatutnya kita sadar akan hakikat kita sebagai pribadi (individu) dan sebagai sosial. Sebagai makhluk pribadi manusia harus memiliki kesadaran insani. yaitu kesadaran diri bahwa kita adalah makhluk-Nya. Dengan kesadaran itu maka manusia akan memiliki rasa moral, yang terlihat dalam wujud sopan santun, tata krama, unggah ungguh, sebagai bekal untuk menapaki jalan hidup manusia dalam memahami diri dan orang lain.

Sebagi makhluk sosial, maka manusia harus selalu menempatkan sopan-santun, tatakrama pergaulan, dan unggah-ungguh, dari hasil pemahaman diri individu, untuk melakukan interaksi sosial. Sehingga akan tercipta harmonisasi kehidupan yang penuh moral ditengah relita sosial masyarakat yang sekarang diguyur oleh budaya grusa-grusu, srugal-srugul demi melakukan manipulasi kehidupan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu.

Dengan pemikiran tersebut, pengarang melakukan refleksi diri, melakukan perdebatan individu dalam upaya ritus mencari tujuan hidupnya. Dalam perdebatan itu, ia melakoninya dengan menjelma sebagi seorang Musafir. Bukan musafir dalam arti sesungguhnya, tetapi musafir spiritual yang mengembara dalam belantara realitas kehidupannya sendiri. pengembaraan spiritual sang musafir dimulai dengan harapan-harapan, cita-cita yang sangat absurd.

Hidup memang selalu penuh dengan harapan dan cita-cita, tetapi terkadang harapan dan cita-cita tersebut tidak selalu sejalan dengan realita. Hidup selalu menyuguhkan kejutan-kejutan kecil dan terkadang kejutan besar. Ada campur tangan Sang Khalik dalam menyajikan kejutan-kejutan tersebut. Banyak sekali gambaran campur tangan tersebut, salah satunya adalah hidup itu sendiri.

Ditengah hiruk pikuk perang budaya, Barat dan Timur, manusia mengalami apa yang disebut kegamangan spiritual. Kegamangan tersebut terjadi dalam diri sejati manusia, sebagai individu, dalam bersikap. Dalam kegamangan sikap tersebut ternyata manusia kemudian menjerit mencari Sang Khalik, bertanya, siapa saya? kenapa? semua terasa tidak jelas, absurd, kabur atau mungkin paradoksal. Hidup menyisakan pencarian dan tanda tanya besar. Kemana aku akan melangkah? kemana aku mencari? dan akhirnya bermuara kepada Sang Khalik. Dialah jawaban dari semua campur tangan hidup ini, bahwa kegamangan sikap adalah karena kita semakin jauh dari-Nya, bukan semakin dekat.

Manusia sebagai lakon dari kehidupan, terus berupaya melakukan manipulasi moral. Manipulasi moral ini telah mewabah melalui sendi kehidupan sosial. Salah satunya adalah Birokrasi. Birokrasi merupakan rahim berseminya benih-benih manipulasi moral. Jangan kaget ketika dari rahimnya dilahirkan ”bayi-bayi” prosedur yang berbelit, dan sesekali mencekik. Alibi-alibi yang disampaikan pun melulu demi kepentingan rakyat, atas nama rakyat, atau semua yang berbau hajat orang banyak. Inilah limbah birokrasi yang selalu dihasilkan dari wabah “kesepakatan” birokrat, bukan kesepakatan rakyat. Keputusan yang diambil selalu berada dalam kalangan birokrat. Sedangkan rakyat harus menerima hasil, tanpa mengikuti proses penyemaian benih kesepakatan.

Sang Musafir adalah Novel terbaru karya Muhammad Sobary. Dalam novel ini pembaca akan diajak meloncat-loncat mengikuti alur cerita yang disuguhi dengan pernyataan dan sesekali pertanyan filosofi kehidupan. Novel ini menceritakan kehidupan manusia yang terkungkung dalam kehidupan birokrasi. Ruang kehidupan yang dibatasi dengan aturan ketat dan prosedur mengikat, menyebabkan manusia melakukan pemberontakan dengan senjata agama. Pembaca akan disuguhi pencarian makna kehidupan dalam lorong-lorong birokrasi kota yang pengap, dan penuh aturan-aturan kaku yang mengikat. Menjadikan manusia semakin tidak jelas arah dan tujuan hidupnya. bahkan untuk memahami diri sekalipun.

“aku bukan burung simurg, tapi aku pun memiliki rasa rindu, untuk setidaknya bisa bertemu, siapa diriku, seperti apa ciri-ciri identitas pribadiku. Seperti apa lukisanku yang tiap hari kuganti dan kuperbarui terus menerus, tanpa henti….” (hal. 265). Sepertinya hidup memang selalu terbungkus dalam absurditas. Dan kita pun tidak akan mengetahui kehidupan kita sendiri, kecuali dengan melakoninya menjadi musafir. Musafir yang bebas berkelana, menapaki lorong-lorong kehidupannya sendiri, tanpa belenggu aturan yang mengekang..[.]**

Tidak ada komentar: