Oleh: Fatkhurrokhman*
Dunia membaca sebenarnya mengelilingi kehidupan, tetapi kita kerap
mengambil jarak.
Membaca dianggap sebagai keterampilan tambahan atau sekedar
hobi. Bahkan, dianggap bertolak belakang dengan dunia sains. Posisi membaca
dikesampingkan. Padahal, jika menengok kembali pada para pendiri bangsa
Indonesia, mereka adalah pencinta membaca. Diplomasi membaca pun menjadi bagian
dari sejarah politik perjuangan bangsa.
Membaca, menyangkut hal-hal kompleks di dalam diri manusia. Ada
wilayah intelektualitas, rasa, motorik, dan hal-hal yang menyangkut kondisi
mental maupun fisik seseorang.
Manusia yang hebat, adalah manusia yang mempunyai keseimbangan.
Mampu menggunakan seluruh bagian dari dirinya, baik mental maupun fisik, secara
optimal. Dan membaca, membaca buku, menjadi media yang efektif untuk
keseimbangan tersebut.
Di negara-negara maju, keterampilan membaca menjadi salah satu indikator
intelektualitas. Dalam membaca, ada nilai matematisnya, tidak sekedar ekspresi.
Dengan kata lain, memikirkan dengan perasaan dan merasakan dengan pikiran.
Maksudnya tentu ada teori-teori membaca dan norma membaca yang harus difahami.
Membaca adalah juga sains, bukan hanya olah rasa. Membaca berkaitan
dengan logika dan matematika karena ada rumusannya. Jika kita melihat
perkembangan manusia, apabila membacanya kuat biasanya logikanya juga kuat.
Pertanyaannya adalah, mengapa membaca?. Hal ini bisa dijelaskan
bahwa membaca adalah kegiatan purba dalam peradaban manusia. Membaca menjadi
dasar perkembangan peradaban manusia selanjutnya. Menulis misalnya, harus bisa
membaca dengan baik jika ingin menjadi penulis yang baik pula.
Mengasah Intuisi
Sejatinya, membaca punya peranan penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Membaca bermanfaat untuk mempertajam intuisi, getaran yang paling
dasar dari seorang manusia untuk berhubungan dengan lingkungannya, agamanya,
kehidupannya. Membaca menjadi cara untuk membangun karakter manusia, dan
idealnya menjadi dasar dalam proses pendidikan anak.
Membaca tidak lantas menjadikan manusia menjadi seorang yang pintar,
namun intuisi (naluri) yang terlatih bisa memanusiakan jiwa. Menjadi manusia, inilah
yang kerap terlupa dari agenda harian kehidupan kita dengan beragam
problematikanya. Sikap egois, tidak mampu bertoleransi, atau sekadar
menghormati orang lain, telah lama bertoleransi dalam hidup keseharian kita.
Ketika norma tak lagi berjalan, sikap saling menghujat diterima begitu saja.
Mengasah naluri juga dipercaya mampu membentuk individu menjadi
lebih visioner dan memiliki karakter yang kuat. Mempelajari bacaan misalnya, secara tidak langsung
mengajak manusia mengenal nilai-nilai budaya dan memelihara tradisi agar tetap
hidup. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk karakter manusia.
Pengenalan membaca
Pengenalan membaca bisa dilakukan sedini mungkin. Berbagai penelitian
menyarankan agar pengenalan itu dimulai
sejak dini. Sehingga seiring buah hati tumbuh dewasa, akan mudah mengenalkan ragam
bacaan. Meski demikian hal ini tidak dapat dilakukan dengan paksaan, tetapi
bisa melalui menonton pameran, pagelaran buku, film dan lain-lain. Sebagai
orang tua tentunya harus fasilitatif. Artinya pengenalan membaca pada usia dini
jangan dipaksa tetapi juga tidak terlalu dilepas.
Pada usia dini bisanya anak
dibebaskan bermain sambil belajar. Diharapkan
berawal dari bermain dan melihat anak akan menyerap tujuan dari kegiatan
pengenalan awal membaca. Pada anak usia 4-5 tahun biasanya mulai bisa
diarahkan. Di komunitas pendidikan informal, banyak anak-anak yang mulai
diarahkan pada bacaan. Mereka dibebaskan untuk memilih bahan bacaan yang
disediakan.
Membaca ibarat pintu pembuka untuk belajar beragam hal. Pada
akhirnya membaca bukan sekadar penyeimbang dalam proses pembelajaran, melainkan
menjadi esensi dalam proses tumbuh kembang manusia.
*Fatkhurrokhman,
SMAN 3 Temanggung