Senin, 15 Mei 2017

Membaca Bukan Sekadar Olah Rasa


Oleh: Fatkhurrokhman*

Dunia membaca sebenarnya mengelilingi kehidupan, tetapi kita kerap mengambil jarak. 

Membaca dianggap sebagai keterampilan tambahan atau sekedar hobi. Bahkan, dianggap bertolak belakang dengan dunia sains. Posisi membaca dikesampingkan. Padahal, jika menengok kembali pada para pendiri bangsa Indonesia, mereka adalah pencinta membaca. Diplomasi membaca pun menjadi bagian dari sejarah politik perjuangan bangsa.

Membaca, menyangkut hal-hal kompleks di dalam diri manusia. Ada wilayah intelektualitas, rasa, motorik, dan hal-hal yang menyangkut kondisi mental maupun fisik seseorang.

Manusia yang hebat, adalah manusia yang mempunyai keseimbangan. Mampu menggunakan seluruh bagian dari dirinya, baik mental maupun fisik, secara optimal. Dan membaca, membaca buku, menjadi media yang efektif untuk keseimbangan tersebut.

Di negara-negara maju, keterampilan membaca menjadi salah satu indikator intelektualitas. Dalam membaca, ada nilai matematisnya, tidak sekedar ekspresi. Dengan kata lain, memikirkan dengan perasaan dan merasakan dengan pikiran. Maksudnya tentu ada teori-teori membaca dan norma membaca yang harus difahami.

Membaca adalah juga sains, bukan hanya olah rasa. Membaca berkaitan dengan logika dan matematika karena ada rumusannya. Jika kita melihat perkembangan manusia, apabila membacanya kuat biasanya logikanya juga kuat.

Pertanyaannya adalah, mengapa membaca?. Hal ini bisa dijelaskan bahwa membaca adalah kegiatan purba dalam peradaban manusia. Membaca menjadi dasar perkembangan peradaban manusia selanjutnya. Menulis misalnya, harus bisa membaca dengan baik jika ingin menjadi penulis yang baik pula.

Mengasah Intuisi

Sejatinya, membaca punya peranan penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Membaca bermanfaat untuk mempertajam intuisi, getaran yang paling dasar dari seorang manusia untuk berhubungan dengan lingkungannya, agamanya, kehidupannya. Membaca menjadi cara untuk membangun karakter manusia, dan idealnya menjadi dasar dalam proses pendidikan anak.

Membaca tidak lantas menjadikan manusia menjadi seorang yang pintar, namun intuisi (naluri) yang terlatih bisa memanusiakan jiwa. Menjadi manusia, inilah yang kerap terlupa dari agenda harian kehidupan kita dengan beragam problematikanya. Sikap egois, tidak mampu bertoleransi, atau sekadar menghormati orang lain, telah lama bertoleransi dalam hidup keseharian kita. Ketika norma tak lagi berjalan, sikap saling menghujat diterima begitu saja.

Mengasah naluri juga dipercaya mampu membentuk individu menjadi lebih visioner dan memiliki karakter yang kuat. Mempelajari  bacaan misalnya, secara tidak langsung mengajak manusia mengenal nilai-nilai budaya dan memelihara tradisi agar tetap hidup. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk karakter manusia.

Pengenalan membaca

Pengenalan membaca bisa dilakukan sedini mungkin. Berbagai penelitian menyarankan agar pengenalan  itu dimulai sejak dini. Sehingga seiring buah hati tumbuh dewasa, akan mudah mengenalkan ragam bacaan. Meski demikian hal ini tidak dapat dilakukan dengan paksaan, tetapi bisa melalui menonton pameran, pagelaran buku, film dan lain-lain. Sebagai orang tua tentunya harus fasilitatif. Artinya pengenalan membaca pada usia dini jangan dipaksa tetapi juga tidak terlalu dilepas. 

Pada usia dini bisanya anak dibebaskan bermain sambil belajar. Diharapkan  berawal dari bermain dan melihat anak akan menyerap tujuan dari kegiatan pengenalan awal membaca. Pada anak usia 4-5 tahun biasanya mulai bisa diarahkan. Di komunitas pendidikan informal, banyak anak-anak yang mulai diarahkan pada bacaan. Mereka dibebaskan untuk memilih bahan bacaan yang disediakan.

Membaca ibarat pintu pembuka untuk belajar beragam hal. Pada akhirnya membaca bukan sekadar penyeimbang dalam proses pembelajaran, melainkan menjadi esensi dalam proses tumbuh kembang manusia.


*Fatkhurrokhman,
  SMAN 3 Temanggung