Senin, 05 Mei 2008

Pustakawan Sekolah dan Guru Berkolaborasi, Mungkinkah?

Oleh: Fatkhurrokhman, SIP.

Dewasa ini kolaborasi telah dikenal baik oleh berbagai organisasi. Kolaborasi bahkan telah menjadi tren baru dalam dunia hiburan, seni dan budaya. Pendeknya kolaborasi telah digunakan dengan baik oleh berbagai kalangan, baik organisasi sampai ke perorangan untuk mendapatkan keuntungan, baik finansial maupun dukungan.

Dalam sebuah organisasi, kolaborasi dilakukan untuk memecahkan permasalahan. Kolaborasi dalam organisasi ditujukan untuk membuat sebuah keputusan penting yang terkait dengan kesuksesan sebuah organisasi. Kesuksesan sebuah kolaborasi didasarkan pada tujuan umum, kesatuan visi, dan iklim kepercayaan dan saling menghormati(Muronaga dan Harada, 1999:9-14). Dengan demikian untuk dapat berkolaborasi dalam organisasi, termasuk juga bidang pendidikan, maka diperlukan pengetahuan dan keterampilan peserta kolaborasi, yang dapat dilihat pada nilai pribadinya (personal value). Dengan adanya nilai pribadi tersebut diharapkan terjalin hubungan kolaboratif yang saling menghargai demi mencapai tujuan yang sama.

Kolaborasi pustakawan dengan guru belumlah menjadi tren dalam dunia pendidikan sekolah. Padahal kolaborasi ini bisa menciptakan nuansa kebersamaan antara pustakawan sekolah dengan guru, dengan pustakawan berperan menjadi mitra yang mendukung program pendidikan sekolah. Kolaborasi pustakawan sekolah dengan guru merupakan program kolaborasi dengan media perpustakaan. Pada institusi sekolah umumnya, pustakawan sekolah dan guru biasanya berjalan sendiri-sendiri. Para guru biasanya sibuk dengan kegiatan mengajar saja, tanpa memperhatikan peran seorang pustakawan yang sebenarnya bisa menjadi mitra atau partner untuk berkolaborasi. Sedangkan pustakawan masih merasa minder dengan posisinya karena belum bisa melepaskan diri dari stereotip masyarakat tentangnya. Untuk itu perlu segera dihilangkan batasan yang membatasi kesempatan kolaborasi pustakawan sekolah dengan guru. Sehingga pustakawan serta guru bisa segera menjadi mitra kolaborasi yang saling menghargai karena nilai pribadi masing-masing.

Bentuk kolaborasii dalam pendidikan di sekolah

Bentuk kolaborasi bisa bermacam-macam, tergantung dengan kebutuhan sekolah atau lemabga yang bersangkutan. Apakah kolaborasi itu dilakukan pustakawan sekolah dengan guru dalam sebuah sekolah, maupun dengan tenaga luar sekolah. Di perpustakaan SMAN 3 Temanggung, contohnya, sebenarnya telah ada bentuk kolaborasi sederhana antara pustakawan dengan guru. Bentuk kolaborasinya adalah pada kegiatan pembelajaran mata pelajaran. Beberapa guru mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, seperti Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Sosiologi, kemudian bahasa dan sastra telah melakukan kolaborasi sederhana dengan pustakawan sekolah. Kolaborasi sederhana ini biasanya dilakukan dengan melakukan pembelajaran di perpustakaan, di mana siswa di kenalkan untuk memanfaatkan sumber ajar yang ada di perpustakaan, untuk tugas mata pelajaran, dengan bantuan pustakawan. Pada awalnya masing-masing guru mata pelajaran tersebut diatas, membawa siswanya yang berjumlah 40 siswa ke ruang perpustakaan. Dengan sebelumnya, guru-guru tersebut melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pustakawan untuk menyediakan materi yang berkaitan dengan tugas pembelajaran. Dalam konteks inilah pustakawan dituntut untuk melakukan kolaborasi dengan para guru kelas.

Guru TIK misalnya, mereka memberikan tugas untuk melakukan browsing artikel di majalah, buku maupun koran, tentang perkembangan teknologi informasi. Kemudian para siswa telah pula disediakan bahan pustaka, baik buku, majalah, maupun koran. Nah, disinilah peran pustakawan untuk memberikan pelajaran pendidikan pemakai (user education) kepada para siswa. Bagaimana cara untuk menemukan artikel yang dibutuhkan oleh para siswa untuk melengkapi tugas mata pelajaran TIK tersebut. Pustakawan membimbing tentang bagaimana cara menemukan artikel, pada rubrik apa dan bentuknya seperti apa. Pemahaman pustakawan tentang media yang memuat artikel sangatlah berperan dalam kegiatan pembelajaran di perpustakaan ini. Contohnya ketika seorang siswa yang kebingungan mencari artikel tentang TIK, maka pustakawan menunjukkan sebuah majalah atau koran pada hari tertentu dan tunjukkan pula rubrik yang membahas artikel yang relevan. Untuk mata pelajaran yang lain, seperti sastra dan sosiologi pun tidak jauh berbeda. Peran dan tugas pustakawan, meski masih sangat sederhana, sama dengan peran yang dijalankan pada mata pelajaran TIK.

Dan hal yang paling menggembirakan dari adanya kolaborasi tersebut bahwa para siswa di lingkungan SMAN 3 sangat antusias dalam kegiatan program tersebut. Ini adalah nilai positif yang ditawarkan, katakanlah, program kolaborasi pustakawan sekolah dan guru.

Pada hakikatnya, bidang garapan kolaborasi pustakawan sekolah masih banyak. Seperti membantu membimbing kegiatan riset pustaka untuk Lomba Karya Tulis Ilmiah, kegiatan outbond training, dan masih banyak lagi. Sehingga bidang garapan kolaborasi akan memaksimalkan peran penting dari pustakawan, guru, tenaga lain serta para siswa dalam lingkup sekolah. Dengan adanya hal tersebut, kegiatan program sekolah, yaitu pengajaran pada siswa tentang proses elektoral pendidikan tidak hanya sekedar melibatkan sejumlah besar tenaga pendidik dan siswa saja, tetapi merupakan kolaborasi secara menyeluruh dari tenaga-tenaga pendidik sekolah tersebut.

Permasalahan Kolaborasi

Contoh kolaborasi diatas mungkin hanyalah sebagian kecil saja tentang program kolaborasi pustakawan sekolah. Namun demikian kesuksesan program kolaborasi di atas, sering terhambat oleh tiadanya peluang kolaborasi antar pustakawan dengan praktisi sekolah. Cerita tentang tiadanya peluang tersebut ibarat irama kegagalan pendidikan dalam memanfaatkan pengelolaan kolaborasi. Dan kegagalan tersebut memang warisan yang telah diturunkan para pendahulu, tanpa pustakawan sekolah dan guru berusaha merubahnya.

Wolcott (1996) menunjukkan bukti tiadanya instruksi kerjasama antara pustakawan dengan guru dalam sekolah, dengan mengutip temuan dari Miller dan Shontz (1993) yang menemukan bukti telah terjadi pergulatan antara pustakawan dengan guru untuk bermitra dalam melakukan pengajaran. Akan tetapi para guru tidak menginginkannya. Hal ini seperti kecanggungan untuk saling berkolaborasi (bekerjasama), seolah-olah terlihat tiadanya rasa saling percaya dan saling mengahargai nilai personal di antara masing-masing.

Bagi beberapa kalangan pendidikan, dinamika pendidikan sekolah sekarang, sedang mengalamai perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat dari adanya aplikasi teknologi informasi dalam kegiatan pendidikan sekolah. Sehingga dengan adanya aplikasi tersebut menuntut adanya kolaborasi antara elemen-elemen yang ada di sekolah; pustakawan dengan guru dan tenaga pendidik yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa bahwa aplikasi teknologi informasi begitu penting dalam kegiatan pendidikan sekolah. Meningkatnya akan pustakawan dan tenaga pendidik lain untuk dikolaborasikan, menjadi hal yang tidak terhindarkan. Tetapi usaha kolaborasi terasa canggung untuk dipahami, kalau tidak mau dikatakan dengan tidak mau dipahami oleh pendidikan sekolah, terlebih untuk diterapkan. Fenomena ini seolah menjadi sebuah pertanyaan penting bagi program sekolah. Mengapa kecanggungan ini terlalu sering menyulitkan pustakawan sekolah untuk berinisiatif untuk memulai dan berusaha berkolaborasi demi kemajuan sekolah?

Penyebab masalah

Sementara masalah kecanggungan di beberapa sekolah masih menghambat inisiatif pustakawan untuk berkolaborasi, sementara di beberapa perpustakaan sekolah yang telah maju, pustakawan mulai bergerak mengembangkan bentuk kolaboratif dengan tenaga-tenaga pendidikan untuk melakukan kegiatan pengajaran. Sehingga bagi mereka kecanggungan bukan lagi penghambat. Pustakawan dan guru telah membentuk orientasi baru yang disebut dengan profesionalisme. Orientasi tersebut telah memangkas kecanggungan dan menciptakan semangat kolaboratif demi meningkatkan prestasi kerja.

Pada kebanyakan sekolah seringkali ditemukan keluhan tentang kompleksitas kolaborasi. Beberapa yang ditemukan biasanya menyangkut tentang usaha untuk meyakinkan para guru agar melakukan kolaborasi dengan pustakawan. Dan hasilnya adalah kesulitan, bahkan banyak juga ditemukan bahwa para guru masih belum melihat pustakawan sebagai mitra kolaborasi. Beberapa guru biasanya ada yang tidak memiliki gagasan atau gambaran tentang apa yang dilakukan pustakawan dan apa yang bisa dilakukan pustakawan untuk membantu para guru dan siswa. Mungkin inilah yang disebut oleh Ruth Small (2002) sebagai "the lack of a common collaborative mentality" sebuah abrasi mental yang mengurangi inisiatif individu untuk berkolaborasi secara umum demi kemajuan pendidikan. Mungkin para guru melihat pustakawan bukanlah mitra yang tepat dalam membantu pengajarannya karena latar belakang yang berbeda. Untuk hal ini Haycock (1999) menyatakan bahwa keterlibatan nyata pustakawan dalam kolaborasi dengan para guru tidak memenuhi peran teoritis dan peran yang harus ditampilkan. Padahal jika melihat hakikat pustakawan yang bergelut dengan informasi, peran praktis dan mungkin juga teoritis dari kegiatan pendidikan pustakawan sangat bisa membantu kemajuan pengajaran.

Konsep kelas, yang menjadi kebiasaan para guru, dimana sistem pembelajaran adalah terpusat dikelas, telah membuat sistem pengajaran nilai yang membatasi kreativitas para siswa. Namun demikian dengan adanya penerapan teknologi dalam kegiatan sekolah, para guru kelas diharapkan lebih memahami pentingnya kolaborasi dengan pustakawan pada khususnya dan tenaga lain pada umumnya. Para guru kelas diharapkan dapat menemukan mitra untuk melakukan kolaborsai dalam mendidik siswa. Dan sebagai pustakawan sekolah yang mendukung program pendidikan sekolah, maka mereka harus menjadi mitra yang tepat dan dicari para guru kelas untuk berkolaborasi.
Layanan Peningkatan pendidikan pustakawan dan kultur kolaborasi
Sekarang ini tenaga lulusan perpustakaan banyak dibutuhkan oleh lembaga sekolah. Bahkan menurut Sulistyo-Basuki (2007) bahwa juru kepustakaan itu mempunyai prospek masa depan yang cerah. Karena untuk saat ini saja dibutuhkan tenaga kepustakaan bagi 7000 sekolah di Indonesia. Tentunya dengan kriteria pendidikan yang sesuai.
Sangat disayangkan, di tengah kebutuhan tenaga pustakawan yang urgen tersebut, usaha-usaha untuk melakukan kolaborasi dengan guru masih belum ditekankan. Sehingga dengan kurangnya penekanan usaha-usaha kolaborasi ini, para guru juga masih memiliki pandangan yang sempit tentang potensi-potensi nilai personal yang terdapat pada pustakawan.

Menurut Hartzell (1997) salah satu alasan utama mengapa pustakawan seringkali dilewatkan, kalau tidak mau disebut dengan diacuhkan, adalah karena minimnya atau bahkan tidak adanya ekspose tentang nilai tambah dan potensi yang hebat pustakawan sekolah dalam menyediakan jasa dan bantuan dalam mendukung pengajaran dan pembelajaran siswa, di berbagai pelatihan untuk para guru. Sehingga kultur kolaborasi pustakawan dengan tenaga guru tidak bisa secara penuh terealisasi.
Pendidikan untuk menciptakan nilai penting kolaborasi harus sering dilakukan terhadap pustakawan dan guru. Dengan demikian pemahaman keuntungan dari kolaborasi bisa memotivasi kultur kolaborasi.

Penyelesaian Masalah: sebuah alternatif

Untuk melakukan kolaborasi dalam kegiatan pengajaran dan pembelajaran sekolah, diperlukan pelatihan tentang kolaborasi bagi pustakawan sekolah, guru kelas, guru khusus, koordinator teknologi informasi dan tenaga lain dalam sekolah tersebut. Logan (2000) dalam Small (2002) menyarankan kepada para praktisi pustakawan untuk menangkap peluang ke depan dalam melakukan pendekatan terhadap guru kelas tentang konsep kolaborasi. Terlebih kolaborasi tersebut idealnya dilakukan pada saat para guru melakukan pengajaran kepada siswa mereka. Namun demikian peran pustakawan sekolah juga harus mampu menunjukkan kompetensi nilai personal untuk menunjukkan adanya kemungkinan berkolaborasi. Selain itu, usaha-usaha eksternal seperti dari universitas yang memiliki jurusan perpustakaan untuk memfasilitasi kolaborasi pustakawan dengan guru lewat kegiatan seminar-seminar ataupun pelatihan-pelatihan harus juga harus intensif dilakukan.

Penting juga untuk dilakukan para pustakawan sekolah dan guru adalah kesadaran untuk membangun hubungan kolaboratif dalam lingkungan pengajaran sekolah. Kesadaran pembangunan tersebut untuk membangkitkan semangat kolaborasi demi memotivasi belajar para siswa dalam menempuh pendidikan sekolahnya. Pembangunan semangat kolaboratif harus juga dipersiapkan sebagai bekal bagi karir profesional para pustakawan, khususnya, serta guru pada umumnya. Selain itu kesadaran membangun hubungan kolaboratif haruslah menjadi kegiatan sehari-hari yang wajar sebagai bagian dari kewajiban pendidik profesional.

Referensi

Hartzell, G.N. (1997). "The Invisible School Librarian: Why Other educators Are Blind To Your Value." Jurnal School Library , November 43 (11): 24-29.

Haycock, k (1996). "What Works: Collaborative Program Planning and Teaching." Jurnal Teacher Librarian, September-oktober 27 (1).

Muronaga, k. dan Harada, V. (1999). "The Art of Collaboration." Jurnal Teacher Librarian, Edisi September-Oktober 27 (1): 9-14.

Small, ruth. (2000). "Collaboration: Where Does It Begin." Jurnal Teacher Librarian, Edisi Mei-Juni 29 (5):15-17

Sulistyo-Basuki. 2007. "Kolaborasi Guru dan Pustakawan dalam proses Belajar Mengajar." ??

Wolcott, L. (1996). "Planning With Teachers: Practical Approaches to Collaboration." Jurnal Emergency Librarian. Edisi January-Februari 23 (3):9-14

Wolcott, L.,Lawless, K.A,. dan Hobbs, D. (1999). Assesing Pre-Service teachers' Beliefs About the Role of the library Media Specialist. Eric Clearinghouse on Information and Technology (ED437065).

Tidak ada komentar: