Selasa, 18 Desember 2007

Gengsi Haji

oleh: fatkhurrokhman

Berhaji itu diwajibkan sekali dalam seumur hidup. Kewajiban itu diperuntukkan bagi yang mampu. Mampu dalam artian mental dan materi. Mental yang dibutuhkan bukan hanya kekuatan fisik saja, tetapi persiapan dan kesiapan untuk menunaikan syarat dan rukun pelaksanaan ibadah haji. Selain mental adalah materi. Materi disini bukan berarti hanya biaya bernagkat haji saja, tetapi bekal ahli waris dirumah termasuk didalamya. Akan tidak lucu jika kemudian seseorang pergi haji akan tetapi ahli warisnya kelaparan. Jadi kewajiban berhaji itu dikenakan sekali pada seorang islam yang siap lahir dan juga bathin.

Ibadah haji, merupakan rukun islam yang kelima. Yaitu sebagai penyempurna ibadah seorang muslim untuk menjadi seorang yang mabrur. Jika seorang muslim telah melaksanakan sholat, zakat, dan puasa, kemudian juga ia seorang yang mampu (baca-kaya, maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan amal ibadahnya dengan menunaikan ibadah haji. Diharapkan darinya, setelah menunaikan rukun islam yang kelima tersebut, ia akan membawa barokah manfaat bagi keluarga, dan masyarakat lingkungannya.

Ada hal yang menarik untuk diungkap dari ibadah haji. Selama ini ada pergeseran makna tentang ibadah haji. Akhir-akhir ini, makin terlihat kecenderungan meningkat dari sebagian kalangan yang kaya, maupun setengah kaya untuk berlomba-lomba menunaikan ibadah haji. sebagai seorang muslim tentunya kita berbangga dengan kecenderungan meningkat tersebur. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut, peningkatan tersebut bukan lagi dikarenakan karena panggilan atau undangan dari tuhan, yang membutuhkan keihlasan, melainkan sekedar gengsi formalitas saja. Fenomena ini dapat dilihat pada seorang muslim yang berangkat berhaji berulang kali, sementara sanak famili dan tetangganya dirundung kekurangan harta dan kebutuhan untuk hidup sejahtera. Segelintir orang ini, atau bahkan jangan-jangan sebagian besar?, dengan bersuka ria pergi ke tanah suci Mekkah, padahal sanak famili dan bahkan tetangga membutuhkan uluran tangannya demi sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ya makan, sekolah dan pekerjaan. Inilah fenomena pergeseran makna ibadah haji yang terjadi di sebagian kalangan kita, yang memprihatinkan. Ibadah haji tidak lebih dari sekedar gengsi formallitas semata, dimana orang yang telah pergi ke Mekkah adalah orang dengan kasta suci yang terhormat dalam masyarakat. Makin sering pergi berhaji, maka senakin tinggi status sosialnya dalam lingkungan.

Mungkin semangat priyayi dan atau ningrat, yang ditanamkan oleh penjajah Belanda dulu pada masyarakat kita, masih erat melekat. Orang yang belum berhaji belum disebut priyayi dan atau ningrat. Untuk menjadi priyayi yang mriyayeni harus dikukuhkan dengan pergi haji. Sehingga semangat mriyayi, ndoro, dan elitisme, menjadi sebuah semangat yang harus diwujudkan dengan jalan berhaji. Tidak peduli sanak famili kelaparan, atau tetangga yang kelimpungan cari utangan buat makan, asalkan bisa berangkat haji ke Mekkah maka sudah selesai urusannya kepada Tuhan. Betulkah demikian? Selesai urusannya? Lalu hubungannya dengan manusia atau sesama? Bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada manusia, dan beribadah kepada-Nya?

Tidak ada komentar: