Kamis, 13 Desember 2007

Preservasi Budaya

Stop, Pencurian Budaya!

Oleh: Fatkhurrokhman

"Malaysia terus incar naskah-naskah Melayu," demikian judul salah satu artikel disebuah media massa nasional (12/12/2007) memberitakan. "Tindakan Malaysia mengklaim "kepemilikan" ekspresi produk budaya tradisional Indonesia tak Cuma terjadi pada biang kesenian. melalui kalangan akademis, mereka juga terus mengincar naskah-naskah Melayu klasik Nusantara hingga ke pelosok desa di belahan timur Indonesia."
Tampak sekali pemerintah belum serius dalam melakukan usaha penyelamatan naskah-naskah kuno Nusantara. Bahkan ratusan naskah kuno yang sangat berharga dari sisi sejarah diperkirakan masih tersimpan di masyarakat. Ini adalah peluang bagus bagi Malaysia, yang sedang "rakus" akan kepemilikan produk tradisi budaya Melayu, untuk melakukan perburuan naskah-naskah Melayu Nusantara yang dimiliki Indonesia.
Naskah-naskah Melayu Nusantara kuno peninggalan sejarah tersebut, ibarat "harta tak bertuan" yang mengundang hasrat banyak pihak untuk memilikinya. Salah satunya adalah Malaysia. Dengan semangat rasa sayange, kini Malaysia berusaha untuk melakukan kejahatan budaya demi memenuhi ambisi untuk mendapatkan naskah-naskah Nusantara. Hal ini dilakukan untuk menahbiskan diri sebagai pusat budaya Melayu di dunia, lewat slogannya "Truly Asia," Asia sebenar-benarnya
Gembar-gembor Malaysia sebagai pusat budaya Melayu adalah penyebab semua ini. Dengan promosi di berbagai media, Malaysia berusaha mengelabui dunia tentang citra eksotisme-Melayu yang dimilikinya. Sehingga dengan berbagai dalih dan cara, mereka berusaha mendapatkan semua jenis koleksi budaya Melayu, termasuk juga naskah-naskah Nusantara. Salah satu dalih yang digunakan adalah dalih akademik. Yaitu dengan mengatasnamakan penelitian budaya, Malaysia menggunakan para akademisi pendidikan untuk melakukan pencurian budaya. Sebuah kejahatan budaya yang harus kita waspadai sebagai bangsa yang kaya akan khazanah budaya.
Sebenarnya kejahatan budaya telah dilakukan oleh Malaysia pada tahun 70-an. Pada tahun 70-an tersebut pemerintah Malaysia pernah bermaksud membeli seluruh dokumentasi sastra yang dikumpulkan oleh H.B. Jassin. Dokumentasi sastra tersebut berisi ribuan naskah-naskah karya sastra sastrawan Indonesia, sejak 1930-an, naskah kuno abad XIX seperti naskah-naskah sastra Melayu-Tionghoa, Namun kemudian dibatalkan karena pada tahun 1976, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, beserta Pemda DKI Jakarta, Pusat Bahasa, dan Dewan Kesenian bermufakat membentuk sebuah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (PDSHB).
Berbagai data dan fakta yang sering diungkapkan oleh berbagai media, tentang pencurian budaya, belum menjadi perhatian semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Sebagai gambaran, bahwa dengan dalih akademik Malaysia mencoba membeli nakah-naskah yang disimpan oleh masyarakat dengan harga yang bagi ukuran warga biasa sangat fantastis, Rp. 50 juta sampai Rp. 60 juta!
Roger Tol, seorang ahli naskah, menyatakan bahwa di Negara Indonesia terdapat ragam 500-an bahasa dan puluhan ragam tradisi tulis yang tersimpan di dunia. Adapun lokasi penyimpanan naskah-naskah tersebut tersebar di seluruh dunia. Diantaranya dapat ditemukan di Kuala Lumpur pada (PNM). Ini berarti dalam kurun dasawarsa terakhir, Malaysia telah "sukses" mencuri kekayaan budaya Nusantara tanpa disadari. Selama ini kita menganggap bahwa Malaysia adalah negara "penyiksa" TKI ilegal, namun ternyata juga sebagai "pencuri" budaya naskah-naskah Nusantara. Lalu klaim mereka sebagai pusat tolehan dalam budaya Melayu sedunia haruskah dilakukan dengan melakukan pencurian budaya?
Berbagai konflik internal ternyata telah menyedot konsentrasi dan kesadaran pemerintah serta masyarakat kita akan kekayaan budaya yang dimiliki. Sehingga tanpa disadari, perhatian pemerintah dan masyarakat untuk tetap waspada mempertahankan kekayaan budaya Nusantara menjadi buyar, tidak teragenda. Kasus korupsi, bencana alam, kemiskinan, serta termasuk gonjang-ganjing pengangkatan PNS, seolah menjadi agenda serial yang tiada akhir, sehingga agenda untuk menyelamatkan naskah-naskah Nusantara hanyalah "sekilas info" yang seringkali dilupakan.
Untuk menghadapi kejahatan budaya seperti ini, dibutuhkan tindakan atau lembaga yang mau mempertahankan nasib naskah-naskah Nusantara. Mungkin langkah pembentukan PDHSB pada tahun 70-an lalu perlu ditiru oleh pemerintah dan masyarakat kita untuk tetap waspada terhadap kejahatan budaya yang dilakukan oleh Malaysia.
Tindakan penyelamatan naskah dengan mendirikan lembaga penyimpan naskah-naskah Nusantara termasuk tindakan pelestarian budaya bangsa. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh PDHSB, kemudian Sulawesi Selatan dengan membentuk Dewan Ketahanan Budaya. Sehingga dengan adanya lembaga-lembaga tersebut diharapkan naskah-naskah Nusantara kita bisa dipertahankan dari kegiatan para pencuri budaya.
Peran pemerintah dalam menggerakkan pelestarian naskah-naskah Nusantara lewat lembaga pengelola naskah sangatlah vital. Pemerintah berperan secara moral maupun politis, untuk mengatur kebijakan pelestarian naskah-naskah Nusantara yang dimiliki, lewat dukungan kebijakan dengan kekuatan hukum. Pemerintah jangan hanya pasif dalam menyikapi problematika budaya (baca: pencurian naskah-naskah Nusantara) yang terjadi. Pemerintah harus aktif dalam menyelamatkan budaya bangsa, termasuk naskah-naskah Melayu Nusantara dari jarahan para pencuri budaya. Tidak terkecuali Malaysia.
Naskah-naskah Melayu Nusantara merupakan asset budaya bangsa yang bernilai sangat tinggi, sehingga banyak negara yang tertarik untuk memilikinya. Peran pemerintah ini pada akhirnya akan menyangkut kelestarian dan keselamatan budaya Melayu Nusantara Indonesia yang akan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Warisan yang akan mengingatkan generasi bangsa akan sejarah budaya tulis Indonesia. Jadi, Stop pencurian budaya, sekarang![.]**

1 komentar:

pak dhe mengatakan...

memang tidak ada yang peduli pada keselamatan budaya bangsa.
semuanya lebih suka menjual budaya bangsanya...